Wasiat 5 – Berani Berkata Benar Meskipun Pahit

Wasiat 5 – Berani Berkata Benar Meskipun Pahit. Saudaraku yang dirahmati Allah, seringkali manusia, bahkan mungkin termasuk kita sendiri, bertemu dengan situasi di mana sulit sekali untuk menyatakan bahwa ini adalah suatu kebenaran dan ini adalah suatu kesalahan. Latar belakangnya bisa macam-macam. Bisa karena ada rasa sungkan, atau rasa segan karena yang sedang kita hadapi adalah orang yang kita hormati atau jabatan atau kedudukannya berada di atas kita.

Padahal semestinya, sepahit apapun kebenaran, ia tetap haruslah diungkap baik ditujukan kepada diri sediri maupun orang lain.

Sesungguhnya jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa. Banyak sekali terjadi di sekitar kita, di mana seseorang, bahkan sekali lagi mungkin termasuk diri kita sendiri, yang tiba-tiba seolah bisu ketika harus menyatakan kebenaran kepada atasan atau pemimpin kita. Padahal Rasulullah Saw. di dalam salah satu haditsnya bersabda,

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim”. [HR. Ahmad].

Lantas, bagaimanakah cara menyampaikan suatu kebenaran kepada atasan, pemimpin atau penguasa? Caranya adalah dengan mengunjungi mereka dan memberi nasehat kepada mereka dengan cara yang baik. Jika cara ini tidak bisa dilakukan, maka dapat dilakukan dengan menulis surat atau melalui orang yang menjadi wakil mereka. Bila cara ini bisa dilakukan, maka tidak perlu menyampaikannya dengan mengadakan orasi, provokasi dan demonstrasi. Apalagi, penyampaian masukan secara persuasif biasanya jauh lebih efektif dibandingkan menyampaikannya dengan cara berteriak-teriak di jalanan.

Islam adalah agama yang paripurna, mencakup segala aspek kehidupan manusia. Islam memberikan petunjuk tentang bagaimana aturan dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita. Termasuk di dalamnya petunjuk tentang bagaimana cara menyampaikan nasehat kepada seorang pemimpin, atasan atau penguasa.

Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya. Kalau penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu yang terbaik. Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya” [HR. Ahmad].

Silahkan Tinggalkan Komentar